LIPUTAN ONE

test banner SELAMAT DATANG DI WEBSITE "LIPUTAN ONE"

Hilangnya Paradigma Independensi Media Akibat Uang dan Etika Menurun



LIPUTANONE.CO.ID - Para penggiat Media di Indonesia sedang berada di titik paling rapuh dalam sejarah pasca-Reformasi, Minggu.(3/8/25)


Runtuhnya kepercayaan publik terhadap media di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari fenomena delegitimasi sistematis terhadap institusi pers, penyebaran disinformasi oleh elite politik, serta upaya menjadikan media sebagai institusi yang kontra dengan publik. 


Hirst (2022) dalam Journalism Ethics at the Crossroads menyebut bahwa “the old paradigm of journalistic practice was no longer fit for purpose”, karena media dinilai gagal merespons krisis multidimensi secara proporsional seperti konflik rasial, dan disinformasi politik secara bermartabat dan etis. 


Refleksi ini menemukan cerminnya dalam lanskap media di Indonesia. Di tengah polarisasi politik dan tekanan ekonomi, banyak media kehilangan daya tawar editorialnya. Ketika media arus utama mencoba bersikap kritis terhadap kekuasaan, mereka kerap dilabeli sebagai partisan, anti-pemerintah, atau bahkan agen asing.


Dalam konteks ini, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa etika jurnalisme hari ini bukan hanya ditentukan oleh kode etik, tapi oleh siapa yang membayar gaji dalam bentuk uang para jurnalisnya, siapa yang mendanai newsroom dan bagaimana pengaruhnya terhadap akuntabilitas etis jurnalisme, membuat etika seorang Jurnalis yang semakin menurun dan bobrok.


Di sisi lain, media yang terlalu dekat dengan pusat kekuasaan pun justru kehilangan kepercayaan dari publik karena dianggap tidak lagi independen. Ketika batas antara relasi bisnis dan agenda politik semakin kabur, kredibilitas redaksi kian tergerus. 


Situasi ini diperparah oleh tekanan finansial yang membuat banyak media memilih bertahan secara komersial, alih-alih mempertahankan integritas jangka panjang. Dalam waktu bersamaan, muncul hegemoni media sosial sebagai kanal informasi utama publik. 


Media arus utama tidak hanya bersaing di antara sesama mereka, tetapi juga harus berkompetisi secara brutal dengan algoritma medsos yang menawarkan kecepatan, sensasi, dan personalisasi. Publik kini tidak lagi bergantung pada media untuk mendapatkan berita, mereka bisa langsung ke Twitter, TikTok, atau WhatsApp. 


Ironisnya, media sering hanya mampu berkata “jangan termakan hoax,” tanpa mampu menawarkan alternatif yang lebih relevan dan mendalam. Akibatnya, media tertinggal dalam kontestasi kepercayaan dan terengah-engah di pasar informasi yang semakin dikendalikan oleh platform digital global. 


Di tengah tekanan ekonomi, disrupsi digital, dan ketergantungan terhadap iklan pemerintah, perusahaan media harus memilih antara bertahan hidup secara komersial atau menjaga misinya sebagai pengawal kepentingan publik. Namun, di antara dua kutub itu, yang paling terdampak adalah para pekerja medianya, yakni para jurnalis, editor, dan staf redaksi yang kini hidup dalam kondisi tanpa kepastian.


Tidak adanya kepastian kerja telah mematikan ruang bagi jurnalisme investigatif (liputan investigasi) dan peliputan mendalam (liputan indepth), karena jurnalis harus memilih konten ringan dan cepat tayang demi bertahan.


Persoalan utamanya terletak pada struktur ekonomi media itu sendiri. Teori ekonomi media yang dikembangkan oleh Robert McChesney (2008) menekankan adanya dualitas, dimana media adalah institusi bisnis sekaligus lembaga publik. 


Namun dalam praktiknya, orientasi bisnis lebih mendominasi. Di Indonesia, sekitar 60–70 persen pendapatan iklan media berasal dari iklan pemerintah atau BUMN, Pada saat yang sama 75 persen belanja iklan digital nasional telah dikuasai oleh platform global seperti Meta dan Google. Ini membuat media lokal kehilangan sumber pendapatan utama dan semakin bergantung pada iklan politik dan negara.


Dalam konteks ini, posisi jurnalis menjadi sangat rentan terhadap tekanan narasi politik, bukan karena tidak beretika, tetapi karena sistem kerja memaksa mereka menjual kredibilitas demi kelangsungan hidup. 


Tekanan terhadap ekonomi media tidak hanya datang dari pasar, tetapi juga dari kebijakan negara. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang membatasi iklan tembakau, misalnya, telah menghapus salah satu sumber pemasukan penting bagi media cetak dan televisi. 


Tanpa skema kompensasi fiskal atau strategi diversifikasi pendapatan, banyak perusahaan media terpaksa memangkas staf, menyederhanakan redaksi, dan beralih ke model konten cepat dan viral. Sementara itu, adopsi kecerdasan buatan di ruang redaksi mulai menggantikan peran penulis berita pendek, juru bahasa, dan editor junior. 


Beberapa platform menggunakan AI untuk membuat rangkuman berita otomatis, tanpa pelibatan jurnalis dan diskusi di dapur redaksi. Praktik ini mungkin efisien, tetapi dalam jangka panjang memperkuat de-skilling dan deprofessionalization dalam jurnalisme.


Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. BuzzFeed menutup divisi berita investigasi pada 2023. The Washington Post, bahkan di bawah kepemilikan Jeff Bezos, tetap melakukan PHK. BBC mengurangi liputan lokal dan menutup kantor regionalnya.


Namun, perbedaannya adalah di negara seperti Jerman atau Norwegia, keberadaan dana publik yang independen membuat media masih bisa mempertahankan fungsi publik tanpa harus tunduk pada pasar murni. Ketika model berbasis iklan terus gagal menopang operasional media, sejumlah media independen di Indonesia memilih jalur alternatif, fundraising journalism. 


Ini adalah pendekatan di mana redaksi secara terbuka meminta dukungan publik untuk membiayai peliputan dan menjagai dependensi.


Solusi struktural sangat mendesak. Pemerintah perlu membentuk dana keberagaman media (media pluralism fund) yang mendukung redaksi independen, terutama di daerah. 


Pajak digital atas platform global seperti Meta dan Google harus diterapkan, seperti yang berlaku di Kanada dan Australia, dengan sebagian dialokasikan untuk membiayai media nasional. 


Regulasi ketenagakerjaan juga harus diperluas agar jurnalis freelance memperoleh status hukum dan perlindungan sosial yang setara dengan karyawan tetap. 


Lebih jauh, media harus membangun ulang relasi dengan publik. Bukan sekadar menjual klik atau trafik, tetapi menjalin kepercayaan melalui transparansi, kredibilitas, dan pelibatan komunitas. 


Model ekonomi yang berorientasi pada relasi sosial ini bisa menjadi jalan keluar dari jebakan oligarki iklan dan tekanan politik. Jika krisis pendanaan media tidak diatasi dan etika tidak ditata ulang dalam konteks struktur ekonomi, maka kesejahteraan jurnalis hanya akan menjadi nostalgia masa lalu. 


Sebaliknya, jika media mampu membangun ulang legitimasi publik melalui model yang adil dan akuntabel, maka jurnalis bukan hanya bisa hidup layak, mereka juga bisa kembali menjadi pengawal demokrasi dan agent of change.


Media bukan hanya mesin klik atau kanal iklan. Ia adalah institusi publik. Ketika jurnalis jatuh ke dalam status precariat, yang runtuh bukan hanya kualitas berita, tetapi juga sistem kontrol demokrasi itu sendiri. Dan jika publik membiarkan hal ini terus terjadi, maka yang hilang bukan hanya suara media, tapi suara kita semua.(Red/Tim)

 

Reporter Tono

Posting Komentar

0 Komentar