MEULABOH — LIPUTANONE |
-Gema tuntutan legalisasi Wilayah Tambang Rakyat (WTR) di Aceh Barat semakin nyaring terdengar.
Di tengah bayang-bayang berakhirnya Dana Otonomi Khusus (Otsus) pada 2027, masyarakat mulai menggantungkan harapan pada sektor pertambangan rakyat yang selama ini berjalan dalam senyap, tanpa payung hukum yang jelas.
Setelah sebelumnya digaungkan oleh mahasiswa Universitas Teuku Umar (UTU), kini Aliansi Masyarakat Peduli (AMP) Aceh Barat turut menyuarakan desakan serupa. Kamis,7/8/25.
Sosok vokal, Indra Jeumpa, yang memimpin AMP, tampil ke garis depan menyuarakan keresahan dan harapan rakyat kecil.
Dalam pernyataan tegasnya, Indra mendesak Pemerintah Kabupaten Aceh Barat untuk segera mengambil sikap nyata terkait WTR.
" Kita harus berpikir ke depan. Setelah 2027, Aceh tidak lagi mendapat Dana Otsus. Maka, Wilayah Pertambangan Rakyat adalah salah satu solusi ekonomi yang dapat diandalkan oleh masyarakat Aceh Barat. Tapi tentu harus dilegalkan agar tidak menjadi masalah hukum dan lingkungan,” ujar Indra, penuh semangat.
Indra menekankan bahwa legalisasi WTR bukan hanya soal ekonomi, tapi soal keadilan sosial kemasyarakatan.
Ia menyebut tambang rakyat, khususnya emas, selama ini menjadi sumber penghidupan alternatif bagi masyarakat pedalaman, namun aktivitas tersebut berlangsung tanpa regulasi, rentan konflik hukum, dan berisiko terhadap lingkungan.
"Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal keberpihakan pada masyarakat kecil. Saatnya kita mengakhiri praktik tambang ilegal yang merugikan semua pihak. Pemerintah harus hadir dan menjawab tantangan ini,” tegasnya lagi.Dorongan ini bukan sekadar suara segelintir orang. Dari kalangan akademisi UTU, namun suara dukungan serta dorongan kepada pemerintah Aceh barat ini juga telah digaungkan sebelumnya oleh mahasiswa KKN UTU secara publik beberapa pekan lalu.
Para mahasiswa menyuarakan pentingnya keterlibatan pemerintah dan institusi pendidikan tinggi dalam merancang regulasi yang berpihak kepada rakyat.
Tak hanya itu, sejumlah tokoh masyarakat dan Pemangku kepentingan bidang Swasembada pangan Aceh juga menyatakan sikap senada.
Mereka menilai, jika dikelola dengan pendekatan profesional dan berbasis hukum, WTR bisa menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD), membuka lapangan kerja baru, serta menekan risiko kerusakan lingkungan melalui pengawasan terpadu.
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kabupaten Aceh Barat belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait wacana legalisasi WTR.
Keheningan ini justru memantik kegelisahan publik, terlebih ketika urgensi pengelolaan sumber daya alam berbasis regulasi semakin tak terbantahkan.
Berbagai pihak kini mendorong agar pemerintah segera berkoordinasi dengan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh dan Kementerian ESDM RI, guna memulai proses penetapan WTR sesuai mekanisme yang berlaku dalam Peraturan Menteri ESDM.
Dengan semakin meluasnya dukungan dari berbagai kalangan, isu legalisasi WTR diprediksi akan menjadi agenda strategis dalam perencanaan pembangunan daerah Aceh Barat ke depan, terutama menjelang fase pasca-Otsus 2027 yang penuh ketidakpastian.
Suara-suara dari akar rumput kini terus menggaung. Di balik aliran sungai yang menggulung pasir emas, ada harapan yang mengendap, agar tambang rakyat tidak lagi menjadi kutukan, tetapi menjadi berkah yang dikelola dengan bijak dan berkeadilan.
Dedy Surya
0 Komentar