AMP: KANTOR LEMBAGA MAA ACEH BARAT BUTUH PERHATIAN PEMERINTAH
ACEH BARAT - LIPUTANONE | Kondisi Kantor Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Barat yang berlokasi di Jalan Swadaya, Desa Drien Rampak, Kecamatan Johan Pahlawan, kini menjadi sorotan publik.
Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Aceh Barat, (AMP) Indra Jeumpa,menyerukan agar pemerintah daerah memberikan perhatian khusus dan memperlakukan lembaga adat tersebut sebagai “anak kandung”, bukan sekadar pelengkap administrasi.
" Kantor MAA Aceh Barat mengalami kondisi fisik yang sangat memprihatinkan. Bangunan yang digunakan saat ini tidak layak, sempit, rawan banjir, dan tidak mencerminkan martabat lembaga adat tertua di Aceh," ujar Indra, Kepada LIPUTANONE. Senin,24/11/25.
Dikatakan, Kantor yang berada di Jalan Swadaya, Desa Drien Rampak, sebuah kawasan yang memang kerap menjadi titik langganan banjir ketika intensitas hujan tinggi.
" Pemerintah harus memberi perhatian istimewa terhadap MAA sebagai benteng adat dan budaya,"Tegas Indra Jeumpa.
Lembaga MAA ini sendiri berdiri sejak tahun 1981, sebelumnya lembaga ini disebut Lembaga adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) lalu kemudian di era 2001-2002, nama lembaga ini direvisi menjadi, Majelis Adat Aceh, (MAA) dan dalam waktu hampir lima dekade lembaga Adat dan budaya ini menjadi pilar utama menjaga adat istiadat, menyelesaikan sengketa adat, hingga melestarikan budaya.
Bangunan yang ditempati MAA saat ini merupakan bekas Kantor Dinas Industri Provinsi Aceh yang sudah tidak digunakan sejak akhir 2020., Namun fasilitas tersebut kini, rapuh, tidak representatif, sempit, menjadi langganan banjir, bahkan minim ruangan yang memadai untuk pelayanan publik.
Sebagai lembaga adat yang berfungsi menjaga stabilitas sosial dan budaya, kondisi seperti ini dianggap tidak relefan.
Investigasi langsung LIPUTANONE di lapangan memperlihatkan kondisi Ruang tamu yang memang seharusnya menjadi tempat menyambut tamu, kini terpaksa dijadikan ruang rapat internal.
Ruang itu juga difungsikan sebagai tempat memajang alat-alat pelaminan adat, dan benda-benda bernilai sejarah lainnya yang merupakan identitas budaya MAA.
Diketahui, Terdapat 4 kamar berukuran 3x4 meter, peninggalan desain bangunan saat status bangunan menjadi rumah sewa., Tersedia 1 ruang tamu 4x8 meter, yang kini ditumpuk dengan dokumen, meja rapat, perlengkapan adat, hingga arsip-arsip penting.
Seluruh kegiatan administrasi, rapat, dan aktivitas adat dilakukan di ruangan sempit tersebut., konon dari keterangan, salah seorang staf Adminitrasi, yang enggan disebut namanya, menyebutkan, saat hujan deras, air meluap masuk dan merendam seluruh ruangan, membuat aktivitas kantor terhenti total.
Bangunan yang kini ditempati MAA tampak jauh dari kata layak sebagai kantor lembaga adat utama Aceh Barat. Cat dinding yang mengelupas, struktur kusen kayu yang rapuh, lantai yang lembab, hingga ruangan sempit yang dijejali perlengkapan adat membuat suasana kantor tidak berbeda dari kos-kosan murah yang berdiri puluhan tahun lalu.
Setiap kali hujan turun, para pengurus MAA harus mengangkat dokumen, memindahkan perlengkapan adat, dan berjuang agar barang-barang peninggalan budaya tidak rusak terendam air.
" Bagaimana kita bisa bicara tentang marwah adat kalau kantor penjaga marwah itu sendiri berada dalam kondisi seperti ini?” ucap Indra Jeumpa, menyambung kembali Pernyataannya.
Ia berharap pemerintahan Tarmizi–Said, dapat memberikan solusi dan segera memberikan fasilitas yang layak dan representatif bagi lembaga adat tersebut.
" Sebagai lembaga yang menjaga identitas adat, budaya, serta keharmonisan masyarakat, MAA dianggap layak memperoleh prioritas pembangunan," Ringkas Indra, menutup pernyataannya.
Dengan kondisi kantor yang semakin memprihatinkan, keterbatasan fasilitas, dan fungsi penting MAA dalam menjaga adat dan budaya Aceh Barat, publik menantikan langkah konkret pemerintah.
Lembaga adat bukan hanya simbol, tetapi penjaga peradaban. Dan penjaga peradaban selayaknya bekerja dari tempat yang bermartabat.
(Dedy Surya)

Komentar
Posting Komentar